Rabu, 23 Maret 2016

MUJARA’AH/MUKHABARAH, MUSYAQAH



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Landasan Mujara’ah/ Mukhabarah
a.       Pengertian Mujara’ah/ Mukhabarah
     Secara etimologi Mujara’ah adalah wajan mafaa’alatun dari kata az zar’u yang sama artinya dengan al imbaatu yang artinya menumbuhkan.[1]
     Menurut terminologi syara’ para ulama berbeda pendapat antara lain:
1.      Ulama Malikiyah berpendapat: “Pengkongsian adalah bercocok tanam.”
2.      Ulama Hanabilah: “ Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengolahnya, sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi di antara keduanya.”
3.      Ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun mujara’ah sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.”
Mukhabarah ialah menyuruh orang lain untuk mengusahakan tanah untuk ditanami sedangkan benihnya berasal dari orang yang mengusakan, dengan perjanjian bahwa seperdua atau sepertiga dari hasilnya diberikan kepada yang mengusahakan.[2]
b.      Landasan Hukum
1)      Mujara’ah
a)      Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
Artinya:”Dari Ibnu Umar berkata “Rasullullah memberikan tanah Khaibar kepada orang-orang Yahudi dengan syarat mereka mau mengerjakan dan mengolahnya dan mengambil sebagian dari hasilnya”.
b)      Hadist yang diriwayatakn oleh Imam Bukhori dari Abdillah
Artinya:“Dari Abdullah RA berkata: Rasullah telah memberikan tanah kepada orang Yahudi Khaibar untuk di kelola dan ia mendapatkan bagian (upah) dari apa yang dihasilakn dari padanya.”
Hadist-hadist tersebut di atas menunjukan bahwasannya bagi hasil Muzara’ah diperbolehkan, karena Nabi SAW sendiri pernah melakukannya.
2)      Mukhabarah
Dalil Mukhabarah: Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian.(HR.Bukhari)
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
B.     Rukun, Syarat dan Bentuk-Bentuk Mujara’ah
1.      Rukun dan Sifat Mujara’ah
     Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mujara’ah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan keridhaan diantara keduanya. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa Mujara’ah dan Musyaqah tidak memerlukan qabul secara lafazh, tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal itu sudah dianggap qabul.
      Tentang sifat Mujara’ah, menurut ulama Hanafiyah, merupakan sifat-sifat pengkongsian yang tidak lazim. Adapun menurut ulama Malikiyah, diharuskan menaburkan benih di atas tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan menanam tumbuhan di atas tanah yang tidak ada bijinya. Menurut pendapat paling kuat, pengkongsian harta termasuk mujara’ah dan harus menggunakan sighat.
      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mujara’ah dan musyaqah adalah dua akad yang tidak lazim sehingga setiap yang melangsungkan akad dapat membatalkan keduanya. Akad pun dapat dianggap batal jika salah seorang aqid meninggal dunia.[3]
2.      Syarat Mujara’ah
·         Menurut Abu Yusuf dan Muhammad:
1.      Syarat aqid (Orang yang melangsungkan akad)
1.1  Mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan baligh.
1.2  Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama Hanafiyah tidak mensyaratkannya.
2.      Syarat tanaman
           Diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan kepada pekerja.
3.      Syarat dengan garapan
3.1  Memungkinkan untuk digarap, yakni apabila ditanami tanah tersebut akan menghasilkan.
3.2  Jelas.
3.3  Ada penyerahan tanah.
4.      Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan
4.1  Jelas ketika akad.
4.2  Diharuskan atas kerja sama dua orang yang akad.
4.3  Ditetapkan ukuran diantara keduanya, seperti sepertiga, setengah, dan lain-lain.
4.4  Hasil dari tanaman harus menyeluruh diantara dua orang yang akan melangsungkan akad. Tidak dibolehkan mensyaratkan bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya mendapatkan sekadar pengganti biji.
5.      Tujuan akad
           Akad dalam mujara’ah harus didasarkan pada tujuan syara’ yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah.
6.      Syarat alat bercocok tanam
           Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau modern dengan maksud sebagai konsekuensi atas akad. Jika hanya bermaksud menggunakan alat, dan tidak dikaitkan dengan akad, mujara’ah dipandang rusak.
7.      Syarat Mujara’ah
           Dalam mujara’ah diharuskan menetapkan waktu. Jika waktu tidak ditetapkan, mujara’ah dipandang tidak sah.
·           Menurut Ulama Malikiyah:
a.       Kedua orang yang melangsungkan akad harus menyerahkan benih.
b.      Hasil yang diperoleh harus disamakan antara pemilik tanah dan penggarap.
c.       Benih harus berasal dari kedua orang yang melangsungkan akad.
·         Menurut Ulama Syafi’iyah:
          Ulama Syafi’iyah tidak mengisyaratkan penanaman hasil yang diperoleh oleh kedua aqid dalam mujara’ah yang mengikuti atau berkaitan dengan musyaqah. Mereka berpendapat bahwa mujara’ah adalah pengelolaan tanah atas apa yang keluar dari bumi, sedangkan benihnya berasal dari pemilik tanah.
·         Menurut Ulama Hanabilah
a)      Benih berasal dari pemilik, tetapi diriwayatkan bahwa Imam Ahmad membolehkan benih berasal dari penggarap.
b)      Kedua orang yang melaksanakan akad harus menjelaskan bagian masing-masing.
c)      Mengetahui dengan jelas jenis benih.
3.      Bentuk-Bentuk Mujara’ah
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bentuk muzara’ah ada 4 macam:[4]
a.       Tanah dan bibit dari satu pihak, sedangkan pekerjaan dan alat bercocok dari pihak lain.
b.      Tanah dari satu pihak, sedangkan alat, benih dan pekerjaan dan tenaga dari pihak lain
c.       Tanah, alat dan benih disediakan oleh satu pihak, sedangkan tenaga dari pihak lain
d.      Tanah dan alat disediakan oleh satu pihak, sedangkan benih dan pekerjaan dari pihak lain.
Akibat akad Mujara’ah:[5]
a.       Petani bertanggungjawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian
b.      Biaya pertanian, seperti pupuk ditanggung petani dan pemilik tanah sesuai prosentase bagian masing-masing
c.       Hasil panen dibagi sesuai kesepakatan
d.      Pengairan dilakukan sesuai kesepakatan kedua belah pihak
e.       Apabila ada yang meninggal salah satu, maka akad tetap berlaku sampai panen.
C.    Hukum dan habis waktunya Mujara’ah
1.      Hukum Mujara’ah:
a)      Hukum mujara’ah sahih menurut Hanafiyah, sebagai berikut:
1)      Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
2)      Pembiyayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
3)      Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
4)      Menyiram atau menjaga tanaman, jika disyaratkan akan dilakukan bersama, hal itu harus terpenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan, penggaraplah yang paling bertanggungjawab menyiram atau menjaga tanaman.
5)      Dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
6)      Jika salah seorang yang meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak menndapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
b)      Hukum Muraja’ah Fasid menurut Syafi’iyah
Telah disinggung bahwa ulama Syafi’iyah melarang muraja’ah jika benih dari pemilik, kecuali bila dianggap sebagai musyaqah. Begitu pula jika benih dari penggarap, hal itu tidak boleh sebagaimana dalam musyaqah.
c)      Hukum Muraja’ah menurut Hanafiyah
1)      Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
2)      Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
3)      Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapat upah dari pekerjaannya.
2.      Penghabisan Muraja’ah:
Berikut beberapa hal yang menyebabkan mujara’ah habis”
1.      Habisnya muraja’ah.
2.      Salah seorang yang akad meninggal.
3.      Adanya udzur. Menurut Ulama Hanafiyah, diantara udzur antara lain:
3.1  Tanah garapan terpaksa dijual.
3.2  Penggarap tidak dapat mengelola tanah. Misalnya sakit.





D.    Pengertian, Landasan hukum Musyaqah
1.      Pengertian Musyaqah
Menurut Etimologi, Musyaqah adalah salah satu bentuk penyiraman.[6]Orang madinah menyebutnya dengan istilah muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih dikenal adalah Musyaqah. Adapun menurut terminologi Islam, antara lain:
1.      Suatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi di antara keduanya.
2.      Penyerahan pohon kepada orang yang akan mengurusnya, kemudian diberi sebagian dari buahnya.
3.      Mempekerjakan orang lain untuk menggarap kurma atau pohon anggur dengan perjanjian dia akan menyiram dan mengurusnya, kemudian buahnya untuk mereka berdua.
2.      Landasan Hukum
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:
a.       Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
b.      Dari Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
E.     Rukun dan Syarat Musyaqah
            Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun musyaqah adalah ijab dan qabul. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja.  Ulama Malikiyah berpendapat tidak ijab qabul dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafazh.[7] Menurut Ulama Hanabilah, qabul dalam musyaqah seperti dalam mujara’ah tidak memerlukan lafazh, cukup dengan menggarapnya. Sedangkan Ulama Syafi’iyah mensyaratkan dalam qabul dengan lafazh dan ketentuannya didasarkan pada kebiasaan umum.
Rukun Musyaqah menurut jumhur Ulama ada 5:
a.       Dua orang yang akaq, disyaratkan harus baligh dan berakal.
b.      Objek Musyaqah
           Menurut Hanafiyah adalah pohon yang berbuah seperti kurma. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musyaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti kacang dengan dua syarat yaitu akad harus dilakukan sebelum buah tampak dan akad ditentukan dengan waktu tertentu. Ulama Hanabilah berpendapat pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan.
c.       Buah, disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
d.      Pekerjaan
           Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
e.       Shighat
           Menurut syafi’iyah tidak diperbolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab berlainan akad. Adapun Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting adalah maksutnya.
F.     Hukum dan habis waktunya Musyaqah
a.       Hukum Musyaqah:
1.      Hukum Musyaqah shahih,
a)      Menurut Hanafiyah, sebagai berikut:
1)      Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap, sedangkan biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
2)      Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
3)      Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mengahsilkan apa-apa.
4)      Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
5)      Pemilik boleh memaksa penggarap bekerja, kecuali ada udzur.
6)      Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati.
7)      Penggarap tidak memberikan musyaqah kepada penggarap lain , kecuali jika diizinkan oleh pemilik. Namun demikian, penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap kedua berhak mendapat upah sesuai dengan pekerjaannya.
b)      Menurut Ulama Malikiyah:
1)      Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan,
2)      Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas ditanah, tidak wajib dibenahi oleh penggarap.
3)      Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap seperti menyiram atau menyediakan alat garapan.
2.      Hukum Musyaqah Fasid
                        Musyaqah Fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.[8] Kategori Musyaqah Fasid menurut Ulama Hanafiyah:
1.      Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad.
2.      Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
3.      Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan.
4.      Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan kepada penggarap, sebab penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian, pemeriksaan dan hal-hal tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad.
5.      Mensyaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian.
6.      Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad.
7.      Bersepakat sampai habis waktu menurut kebiasaan.
8.      Musyaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.
b.      Habis waktunya Musyaqah
1.      Menurut Ulama Hanafiyah, Musyaqah selesai karena 3 perkara:
a)      Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad.
      Jika waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, pengharap boleh berhenti. Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerja di luar waktu yang telah disepakati, maka ia tidak mendapatkan upah.
      Jika penggarap menolak untuk bekerja, pemilik atau ahli warisnya dapat melakukan 3 hal:
1)      Membagi buah dengan memakai persyaratan tertentu.
2)      Penggarap memberikan bagiannya kepada pemilik.
3)      Membiayai sampai berbuah, kemudian mengambil bagian penggarap sekadar pengganti pembiayaan.
b)      Meninggalnya salah seorang yang berakad.
      Jika penggarap meninggal, maka ahli warisnya berkewajiban meneruskan musyaqah, walaupun pemilik tanah tidak rela dan sebaliknya.
Namun jika keduanya meninggal, yang paling berhak meneruskan adalah ahli waris penggarap. Jika ahli waris itu menolak, musyaqah diserahkan kepada pemilik tanah.
c)      Membatalkan baik dengan ucapan secara jelas atau adanya udzur.
      Diantara udzur yang membatalkan musyaqah:
1)      Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang digarapnya.
2)      Penggarap sakit sehingga tidak dapat bekerja.
2.      Menurut Ulama Malikiyah
            Ulama Malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad yang dapat diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak meneruskan garapan. Akan tetapi, jika ahli waris menolak, pemilik harus menggarapnya.
            Musyaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Malikiyah beralasan bahwa musyaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan karena adanya udzur, juga tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan keduanya.[9]
3.      Menurut ulama Syafi’iyah
            Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal dengan adanya udzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus diawasi oleh pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya.
            Menurut Ulama Syafi’iyah, Musyaqah selesai jika habis waktu. Jika buah keluar setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu musyaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskan pekerjaannya.Musyaqah dipandang batal jika penggarap meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika pemilik meninggal.
4.      Menurut Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah berprndapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah, yakni termasuk akad yang dibolehkan tetapi tidak lazim. Jika musyaqah rusak setelah tampak buah, buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian awal.
            Jika penggarap meninggal, musyaqah dipandang tidak rusak, tetapi dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli warisnya menolak, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan upahnya diambil dari tirkah atau peninggalannya. Akan tetapi, jika tidak memiliki tirkah upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan sehingga musyaqah sempurna.
            Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah dipandang selesai dengan habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun yang menurut kebiasaan akan ada buah. Tetapi ternyata tidak, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.

BAB III
KESIMPULAN
1.   Secara etimologi Mujara’ah adalah wajan mafaa’alatun dari kata az zar’u yang sama artinya dengan al imbaatu yang artinya menumbuhkan. Dasar Mujara’ah Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Hadist yang diriwayatakn oleh Imam Bukhori dari Abdillah. Mukhabarah ialah menyuruh orang lain untuk mengusahakan tanah untuk ditanami sedangkan benihnya berasal dari orang yang mengusakan.
2.   Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mujara’ah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan keridhaan diantara keduanya. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa Mujara’ah dan Musyaqah tidak memerlukan qabul secara lafazh, tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal itu sudah dianggap qabul.
3.      Syarat Mujara’ah Menurut Abu Yusuf dan Muhammad: ada Syarat aqid (Orang yang melangsungkan akad), Syarat tanaman, Syarat dengan garapan, Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan,Syarat alat bercocok tanam.
Hukum Mujara’ah: Hukum mujara’ah sahih menurut Hanafiyah, Hukum Muraja’ah Fasid menurut Syafi’iyah, Hukum Muraja’ah menurut Hanafiyah. Habisnya muraja’ah: Salah seorang yang akad meninggal, Adanya udzur. Menurut Ulama Hanafiyah.
4.      Menurut Etimologi, Musyaqah adalah salah satu bentuk penyiraman.
5.      Rukun Musyaqah menurut jumhur Ulama ada 5: Dua orang yang akaq,Objek Musyaqah, Buah, Pekerjaan, Shighat.
6.      Hukum musyaqah ada yang shahih dan ada yang fasid.
DAFTAR PUSTAKA.
Harun Nasroen, , 2007, Fiqih Muamalat, Jakarta: Gajah Media Pratama.
Mas’ud Ibnu, 2007, fiqih madzhab syafi’I, Bandung: CV Pustaka Setia.
Muslich Ahmad Wardi, 2010, Fiqih Muamalat, Jakarta: AMZAH.
Syafe’i, Rachmat, 2001, Fiqih Muamalah, Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
.










[1] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), 205.
[2] Ibnu Mas’ud, fiqih madzhab syafi’I, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 134.
[3] Ibid., 208.
[4] Ahmad Wardi Muslich, FIQIH Muamalat, (Jakarta: AMZAH,2010), 402.
[5] Nasroen Harun, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Gajah Media Pratama, 2007), 280.
[6] ibid., 212.
[7] Ibid., 214.
[8] Ibid., 217.
[9] Ibid., 221.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar