BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Landasan Mujara’ah/ Mukhabarah
a. Pengertian
Mujara’ah/ Mukhabarah
Secara etimologi Mujara’ah adalah wajan mafaa’alatun dari
kata az zar’u yang sama artinya dengan al imbaatu yang artinya
menumbuhkan.[1]
Menurut terminologi syara’ para ulama berbeda pendapat antara
lain:
1. Ulama
Malikiyah berpendapat: “Pengkongsian adalah bercocok tanam.”
2. Ulama
Hanabilah: “ Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau
mengolahnya, sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi di antara keduanya.”
3. Ulama
Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang
dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun mujara’ah sama
seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.”
Mukhabarah ialah menyuruh orang lain untuk mengusahakan tanah untuk
ditanami sedangkan benihnya berasal dari orang yang mengusakan, dengan
perjanjian bahwa seperdua atau sepertiga dari hasilnya diberikan kepada yang
mengusahakan.[2]
b. Landasan
Hukum
1)
Mujara’ah
a)
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
Artinya:”Dari Ibnu Umar berkata “Rasullullah
memberikan tanah Khaibar kepada orang-orang Yahudi dengan syarat mereka mau
mengerjakan dan mengolahnya dan mengambil sebagian dari hasilnya”.
b)
Hadist yang diriwayatakn oleh Imam Bukhori dari
Abdillah
Artinya:“Dari Abdullah RA berkata: Rasullah telah
memberikan tanah kepada orang Yahudi Khaibar untuk di kelola dan ia mendapatkan
bagian (upah) dari apa yang dihasilakn dari padanya.”
Hadist-hadist tersebut di atas menunjukan bahwasannya
bagi hasil Muzara’ah diperbolehkan, karena Nabi SAW sendiri pernah
melakukannya.
2)
Mukhabarah
Dalil
Mukhabarah: Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai
tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian
tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik
dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang
paroan dengan cara demikian.(HR.Bukhari)
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan
kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian
mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun
dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
B.
Rukun, Syarat dan Bentuk-Bentuk Mujara’ah
1. Rukun
dan Sifat Mujara’ah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mujara’ah adalah ijab
dan qabul yang menunjukkan keridhaan diantara keduanya. Ulama Hanabilah
berpendapat bahwa Mujara’ah dan Musyaqah tidak memerlukan qabul secara lafazh,
tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal itu sudah dianggap qabul.
Tentang sifat Mujara’ah, menurut ulama Hanafiyah, merupakan
sifat-sifat pengkongsian yang tidak lazim. Adapun menurut ulama Malikiyah,
diharuskan menaburkan benih di atas tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan menanam
tumbuhan di atas tanah yang tidak ada bijinya. Menurut pendapat paling kuat,
pengkongsian harta termasuk mujara’ah dan harus menggunakan sighat.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mujara’ah dan musyaqah adalah
dua akad yang tidak lazim sehingga setiap yang melangsungkan akad dapat
membatalkan keduanya. Akad pun dapat dianggap batal jika salah seorang aqid
meninggal dunia.[3]
2. Syarat
Mujara’ah
·
Menurut Abu Yusuf dan
Muhammad:
1. Syarat
aqid (Orang yang melangsungkan akad)
1.1 Mumayyiz,
tetapi tidak disyaratkan baligh.
1.2 Imam
Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama Hanafiyah tidak
mensyaratkannya.
2. Syarat
tanaman
Diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi
kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan kepada pekerja.
3. Syarat
dengan garapan
3.1 Memungkinkan
untuk digarap, yakni apabila ditanami tanah tersebut akan menghasilkan.
3.2 Jelas.
3.3 Ada
penyerahan tanah.
4. Syarat-syarat
tanaman yang dihasilkan
4.1 Jelas
ketika akad.
4.2 Diharuskan
atas kerja sama dua orang yang akad.
4.3 Ditetapkan
ukuran diantara keduanya, seperti sepertiga, setengah, dan lain-lain.
4.4 Hasil
dari tanaman harus menyeluruh diantara dua orang yang akan melangsungkan akad.
Tidak dibolehkan mensyaratkan bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya
mendapatkan sekadar pengganti biji.
5. Tujuan
akad
Akad dalam mujara’ah
harus didasarkan pada tujuan syara’ yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau
memanfaatkan tanah.
6. Syarat
alat bercocok tanam
Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau modern dengan
maksud sebagai konsekuensi atas akad. Jika hanya bermaksud menggunakan alat,
dan tidak dikaitkan dengan akad, mujara’ah dipandang rusak.
7. Syarat
Mujara’ah
Dalam mujara’ah diharuskan menetapkan waktu. Jika waktu
tidak ditetapkan, mujara’ah dipandang tidak sah.
·
Menurut Ulama
Malikiyah:
a. Kedua
orang yang melangsungkan akad harus menyerahkan benih.
b. Hasil
yang diperoleh harus disamakan antara pemilik tanah dan penggarap.
c. Benih
harus berasal dari kedua orang yang melangsungkan akad.
·
Menurut Ulama
Syafi’iyah:
Ulama Syafi’iyah tidak mengisyaratkan penanaman hasil yang
diperoleh oleh kedua aqid dalam mujara’ah yang mengikuti atau berkaitan dengan
musyaqah. Mereka berpendapat bahwa mujara’ah adalah pengelolaan tanah atas apa
yang keluar dari bumi, sedangkan benihnya berasal dari pemilik tanah.
·
Menurut Ulama Hanabilah
a) Benih
berasal dari pemilik, tetapi diriwayatkan bahwa Imam Ahmad membolehkan benih
berasal dari penggarap.
b) Kedua
orang yang melaksanakan akad harus menjelaskan bagian masing-masing.
c) Mengetahui
dengan jelas jenis benih.
3. Bentuk-Bentuk Mujara’ah
Menurut Abu
Yusuf dan Muhammad bentuk muzara’ah ada 4 macam:[4]
a. Tanah dan bibit dari satu pihak, sedangkan pekerjaan
dan alat bercocok dari pihak lain.
b. Tanah dari satu pihak, sedangkan alat, benih dan
pekerjaan dan tenaga dari pihak lain
c. Tanah, alat dan benih disediakan oleh satu pihak,
sedangkan tenaga dari pihak lain
d. Tanah dan alat disediakan oleh satu pihak, sedangkan
benih dan pekerjaan dari pihak lain.
Akibat akad Mujara’ah:[5]
a.
Petani
bertanggungjawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian
b.
Biaya pertanian,
seperti pupuk ditanggung petani dan pemilik tanah sesuai prosentase bagian
masing-masing
c.
Hasil panen
dibagi sesuai kesepakatan
d.
Pengairan
dilakukan sesuai kesepakatan kedua belah pihak
e.
Apabila ada yang
meninggal salah satu, maka akad tetap berlaku sampai panen.
C. Hukum
dan habis waktunya Mujara’ah
1.
Hukum Mujara’ah:
a)
Hukum mujara’ah sahih
menurut Hanafiyah, sebagai berikut:
1)
Segala keperluan untuk
memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
2)
Pembiyayaan atas
tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
3)
Hasil yang diperoleh
dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
4)
Menyiram atau menjaga
tanaman, jika disyaratkan akan dilakukan bersama, hal itu harus terpenuhi. Akan
tetapi, jika tidak ada kesepakatan, penggaraplah yang paling bertanggungjawab
menyiram atau menjaga tanaman.
5)
Dibolehkan menambah
penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
6)
Jika salah seorang yang
meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak menndapatkan apa-apa
sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
b)
Hukum Muraja’ah Fasid
menurut Syafi’iyah
Telah
disinggung bahwa ulama Syafi’iyah melarang muraja’ah jika benih dari pemilik,
kecuali bila dianggap sebagai musyaqah. Begitu pula jika benih dari penggarap,
hal itu tidak boleh sebagaimana dalam musyaqah.
c)
Hukum Muraja’ah menurut
Hanafiyah
1)
Penggarap tidak
berkewajiban mengelola.
2)
Hasil yang keluar
merupakan pemilik benih.
3)
Jika dari pemilik
tanah, penggarap berhak mendapat upah dari pekerjaannya.
2.
Penghabisan Muraja’ah:
Berikut beberapa hal
yang menyebabkan mujara’ah habis”
1.
Habisnya muraja’ah.
2.
Salah seorang yang akad
meninggal.
3.
Adanya udzur. Menurut
Ulama Hanafiyah, diantara udzur antara lain:
3.1 Tanah
garapan terpaksa dijual.
3.2 Penggarap
tidak dapat mengelola tanah. Misalnya sakit.
D. Pengertian,
Landasan hukum Musyaqah
1. Pengertian
Musyaqah
Menurut Etimologi,
Musyaqah adalah salah satu bentuk penyiraman.[6]Orang
madinah menyebutnya dengan istilah muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih
dikenal adalah Musyaqah. Adapun menurut terminologi Islam, antara lain:
1. Suatu
akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi
di antara keduanya.
2. Penyerahan
pohon kepada orang yang akan mengurusnya, kemudian diberi sebagian dari
buahnya.
3. Mempekerjakan
orang lain untuk menggarap kurma atau pohon anggur dengan perjanjian dia akan
menyiram dan mengurusnya, kemudian buahnya untuk mereka berdua.
2. Landasan
Hukum
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan
hukum musaqah adalah:
a. Dari Ibnu
Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar
agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari
penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)”
(H.R Muslim).
b. Dari Ibnu
Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan tanahnya kepada
orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan
Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
E. Rukun dan Syarat
Musyaqah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun musyaqah adalah
ijab dan qabul. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja. Ulama Malikiyah berpendapat tidak ijab qabul
dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafazh.[7]
Menurut Ulama Hanabilah, qabul dalam musyaqah seperti dalam mujara’ah tidak
memerlukan lafazh, cukup dengan menggarapnya. Sedangkan Ulama Syafi’iyah
mensyaratkan dalam qabul dengan lafazh dan ketentuannya didasarkan pada
kebiasaan umum.
Rukun Musyaqah menurut
jumhur Ulama ada 5:
a.
Dua orang yang akaq,
disyaratkan harus baligh dan berakal.
b. Objek
Musyaqah
Menurut Hanafiyah adalah pohon yang berbuah seperti kurma.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musyaqah adalah tumbuh-tumbuhan,
seperti kacang dengan dua syarat yaitu akad harus dilakukan sebelum buah tampak
dan akad ditentukan dengan waktu tertentu. Ulama Hanabilah berpendapat pada
pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan.
c. Buah,
disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
d. Pekerjaan
Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Ulama
mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal
berbuah dan kapan minimal berbuah.
e. Shighat
Menurut syafi’iyah tidak diperbolehkan menggunakan kata
ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab berlainan akad. Adapun Hanabilah
membolehkannya sebab yang terpenting adalah maksutnya.
F. Hukum
dan habis waktunya Musyaqah
a.
Hukum Musyaqah:
1.
Hukum Musyaqah shahih,
a)
Menurut Hanafiyah,
sebagai berikut:
1)
Segala pekerjaan yang
berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap, sedangkan
biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
2)
Hasil dari musyaqah
dibagi berdasarkan kesepakatan.
3)
Jika pohon tidak
menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mengahsilkan apa-apa.
4)
Akad adalah lazim dari
kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad tidak dapat membatalkan
akad tanpa izin salah satunya.
5)
Pemilik boleh memaksa
penggarap bekerja, kecuali ada udzur.
6)
Boleh menambah hasil
dari ketetapan yang telah disepakati.
7)
Penggarap tidak
memberikan musyaqah kepada penggarap lain , kecuali jika diizinkan oleh
pemilik. Namun demikian, penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari hasil, sedangkan
penggarap kedua berhak mendapat upah sesuai dengan pekerjaannya.
b)
Menurut Ulama
Malikiyah:
1)
Sesuatu yang tidak
berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan,
2)
Sesuatu yang berkaitan
dengan buah yang membekas ditanah, tidak wajib dibenahi oleh penggarap.
3)
Sesuatu yang berkaitan
dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap seperti menyiram
atau menyediakan alat garapan.
2.
Hukum Musyaqah Fasid
Musyaqah
Fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.[8]
Kategori Musyaqah Fasid menurut Ulama Hanafiyah:
1. Mensyaratkan
hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad.
2.
Mensyaratkan salah satu
bagian tertentu bagi yang akad.
3.
Mensyaratkan pemilik
untuk ikut dalam penggarapan.
4.
Mensyaratkan pemetikan
dan kelebihan kepada penggarap, sebab penggarap hanya berkewajiban memelihara
tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian, pemeriksaan dan hal-hal
tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad.
5.
Mensyaratkan penjagaan
kepada penggarap setelah pembagian.
6.
Mensyaratkan kepada
penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad.
7.
Bersepakat sampai habis
waktu menurut kebiasaan.
8.
Musyaqah digarap oleh
banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.
b. Habis
waktunya Musyaqah
1. Menurut
Ulama Hanafiyah, Musyaqah selesai karena 3 perkara:
a) Habis
waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad.
Jika waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa,
pengharap boleh berhenti. Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerja di
luar waktu yang telah disepakati, maka ia tidak mendapatkan upah.
Jika penggarap menolak untuk bekerja, pemilik atau ahli
warisnya dapat melakukan 3 hal:
1) Membagi
buah dengan memakai persyaratan tertentu.
2) Penggarap
memberikan bagiannya kepada pemilik.
3) Membiayai
sampai berbuah, kemudian mengambil bagian penggarap sekadar pengganti
pembiayaan.
b) Meninggalnya
salah seorang yang berakad.
Jika penggarap meninggal, maka ahli warisnya berkewajiban
meneruskan musyaqah, walaupun pemilik tanah tidak rela dan sebaliknya.
Namun jika keduanya
meninggal, yang paling berhak meneruskan adalah ahli waris penggarap. Jika ahli
waris itu menolak, musyaqah diserahkan kepada pemilik tanah.
c) Membatalkan
baik dengan ucapan secara jelas atau adanya udzur.
Diantara udzur yang membatalkan musyaqah:
1) Penggarap
dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang
digarapnya.
2) Penggarap
sakit sehingga tidak dapat bekerja.
2. Menurut
Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad
yang dapat diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak meneruskan
garapan. Akan tetapi, jika ahli waris menolak, pemilik harus menggarapnya.
Musyaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui
seorang pencuri. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja.
Malikiyah beralasan bahwa musyaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat
dibatalkan karena adanya udzur, juga tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan
sepihak sebab harus ada kerelaan keduanya.[9]
3. Menurut
ulama Syafi’iyah
Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal dengan
adanya udzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berhianat. Akan tetapi,
pekerjaan penggarap harus diawasi oleh pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya.
Menurut Ulama Syafi’iyah, Musyaqah selesai jika habis waktu.
Jika buah keluar setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya.
Akan tetapi, jika akhir waktu musyaqah buah belum matang, penggarap berhak atas
bagiannya dan meneruskan pekerjaannya.Musyaqah dipandang batal jika penggarap
meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika pemilik meninggal.
4. Menurut
Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah
berprndapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah, yakni termasuk akad yang
dibolehkan tetapi tidak lazim. Jika musyaqah rusak setelah tampak buah, buah
tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian awal.
Jika penggarap meninggal, musyaqah dipandang tidak rusak,
tetapi dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli warisnya menolak, mereka
tidak boleh dipaksa, tetapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya
dan upahnya diambil dari tirkah atau peninggalannya. Akan tetapi, jika tidak
memiliki tirkah upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang
dibutuhkan sehingga musyaqah sempurna.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah dipandang
selesai dengan habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu
tahun yang menurut kebiasaan akan ada buah. Tetapi ternyata tidak, penggarap
tidak mendapatkan apa-apa.
BAB III
KESIMPULAN
1. Secara etimologi
Mujara’ah adalah wajan mafaa’alatun dari kata az zar’u yang sama
artinya dengan al imbaatu yang artinya menumbuhkan. Dasar Mujara’ah Hadist yang diriwayatkan
oleh Ibnu Umar dan Hadist yang diriwayatakn oleh Imam Bukhori dari Abdillah. Mukhabarah ialah menyuruh orang lain untuk
mengusahakan tanah untuk ditanami sedangkan benihnya berasal dari orang yang
mengusakan.
2.
Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa rukun mujara’ah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan
keridhaan diantara keduanya. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa Mujara’ah dan
Musyaqah tidak memerlukan qabul secara lafazh, tetapi cukup dengan mengerjakan
tanah. Hal itu sudah dianggap qabul.
3.
Syarat Mujara’ah Menurut Abu Yusuf dan
Muhammad: ada Syarat aqid (Orang yang melangsungkan akad), Syarat tanaman, Syarat dengan garapan, Syarat-syarat
tanaman yang dihasilkan,Syarat alat
bercocok tanam.
Hukum Mujara’ah: Hukum
mujara’ah sahih menurut Hanafiyah, Hukum Muraja’ah Fasid
menurut Syafi’iyah, Hukum Muraja’ah menurut Hanafiyah. Habisnya muraja’ah: Salah seorang yang akad
meninggal, Adanya
udzur. Menurut Ulama Hanafiyah.
4.
Menurut Etimologi,
Musyaqah adalah salah satu bentuk penyiraman.
5.
Rukun Musyaqah menurut
jumhur Ulama ada 5: Dua
orang yang akaq,Objek Musyaqah, Buah, Pekerjaan, Shighat.
6.
Hukum musyaqah
ada yang shahih dan ada yang fasid.
DAFTAR PUSTAKA.
Harun Nasroen, , 2007, Fiqih Muamalat, Jakarta: Gajah Media Pratama.
Mas’ud Ibnu, 2007, fiqih
madzhab syafi’I, Bandung: CV Pustaka Setia.
Muslich Ahmad Wardi, 2010, Fiqih Muamalat, Jakarta: AMZAH.
Syafe’i,
Rachmat, 2001, Fiqih
Muamalah, Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar